Selasa, 06 November 2012

"Biar Cepet Gonjreng"

       Seorang Kepala Sekolah di sebuah SMA, baik budi pekertinya, santun tutur katanya, ramah dan selalu berusaha terlihat gembira. Tak pernah pernah pilih kasih untuk menebar senyuman meski sedang dilanda kesdihan ataupun permasalahan. Selalu mencoba untuk menampilkan yang terbaik di hadapan keluarga keduanya dan tetap berperangai ceria walau sudah berkepala lima. Itulah Ibu Yetty Nugraha, kepala sekolahku saat aku masih mengeyam pendidikan di bangku SMA.

       Aku pernah mendengar bahwa kesan pertama saat bertemu seseorang akan selalu teringat dalam memori dan akan menampilkan gambaran umum tentang karakter seseorang. Saat pertama kali Ibu Yetty berbicara di depan ribuan siswa SMA Negeri 4 Kota Bekasi, beliau tampil dengan begitu enerjik, nada bicaranya melambai dan santai, tidak terlalu serius tapi semua siswa tetap fokus memperhatikan beliau yang sedang memberikan pesan-pesan dalam upacara bendera. Saat melihat tingkah beliau saat memberikan amanah upacara dengan gayanya yang begitu ceria, banyak siswa-siswi yang tertawa melihatnya, tetapi beliau tetap terseyum dan melanjutkan pembicaraannya dengan bahagia. Sekali saja bu Yetty naik podium untuk memberi pesan-pesan pada saat upacara atau hanya sekedar berbicara, pikiran semua siswa-siswi dan para pegawai SMA seperti terhipnotis oleh pembawaan beliau yang sangat berbeda dengan guru-guru dan kepala-kepala sekolah lainnya. Sehingga kesan pertama yang terpatri dalam pikiran kami semua adalah bu Yetty yang begitu ceria dan menyenangkan.

       Setiap selesai upacara atau setiap setelah bel tanda masuk berbunyi, beliau selalu menyempatkan diri untuk berpatroli keliling sekolah, melihat keadaan sekolah dan para warganya. Pernah suatu kali kelasku kosong, guru yang seharusnya mengajar belum datang dan pada saat itu bu Yetty sedang berkeliling sekolah. Melihat kelasku yang kosong, beliau segera masuk untuk mengecek keadaan kelas, “Assalamualaikum”, ucapnya dengan lembut. “Waalaikumussalam”, jawab kami serempak. Kemudian beliau bertanya dengan suara yang begitu lembut, seperti seorang ibu yang bertanya kepada anaknya, menanyakan siapa gru yang seharusnya mengajar dan mengapa guru yang bersangkutan belum datang. Kami juga tidak tahu. Akhirnya bu Yetty menyempatkan diri untuk mendengar curahan hati kelas kami sebelum guru yang mengajar datang. Beliau menanyakan apa-apa saja yang perlu dibenahi di kelas kami dan kami pun serentak menjawab, “Pintunya buuuuuuuuu. . .”, karena memang pada saat itu pintu kelas kami dan kelas sebelah kondisinya kurang baik. Pintu kelas kami selalu menganga lebar, tak bisa tertutup rapat apabila tak ada yang mengganjal pintunya.

Masih banyak lagi curahan-curahan hati siswa yang disampaikan kepada Kepala Sekolahku itu. Beliau mendengarkan dengan baik, mencerna segala masukan yang kami utarakan. Bu Yetty memang terkenal sebagai orang terbuka yang siap menerima aspirasi orang banyak. Setelah bertanya keluhan kelas kami, beliau mengucapkan terima kasih, mengucapkan salam, dan pergi dari kelas kami sambil melambai-lambaikan tangan. Entah tiga bulan atau empat bulan sesudah itu, semua pintu kelas diganti dengan yang baru, lebih bagus dan bisa ditutup rapat! Kami senang, bu Yetty pun riang.

Selain sarana dan prasarana, pihak sekolah juga berusaha membangun iman dan takwa karena dua hal tersebut adalah modal utama pelajar selain dari kepintaran agar bisa bersaing di kehidupan sebenarnya. Kepintaran yang tidak disertai dengan iman dan takwa bagaikan rumah tanpa pondasi. Mungkin saja terlihat mewah, tapi karena tak ada pondasi, rumah itu bisa rubuh kapan saja. Begitulah orang pintar tanpa iman dan takwa, dia bisa hidup dan terlihat hebat, tapi tak bisa berdiri kokoh karena hidupnya tak berdasarkan landasan-landasan agama.

       Oleh karena itu, setiap sekolah harus mempunyai program untuk membina keimanan dan ketakwaan seluruh warga sekolahnya. Sekolahku sudah mencoba mengaplikasikan hal tersebut dengan cara menyediakan waktu 15 menit sebelum bel masuk sebagai waktu “Imtak” (Iman dan Takwa). Pada waktu tersebut, yang muslim dipersilahkan untuk membaca quran atau mendengar tausyiah dari salah seorang siswa dan yang nonmuslim dipersilahkan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Yang paling aku ingat dari waktu imtak adalah bu Yetty yang selalu menyempatkan diri berkeliling sekolah untuk mengecek apakah para warga sekolahnya sudah memaksimalkan waktu imtak yang sudah disediakan atau belum. Jika belum, maka beliau menunggui suatu kelas sampai benar-benar mengoptimalkan waktu imtak. Tak hanya itu, terkadang juga beliau menambahkan dengan sedikit nasihat yang pastinya bermanfaat.Benar-benar kepala sekolah yang peduli akan murid-muridnya.

       Selain kegiatan akademik, sekolah juga mendukung kegiatan yang menunjang prestasi nonakademik, yang biasanya diraih oleh siswa-siswi yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler yang ada. Bantuan, binaan, dan perhatian sekolah sangat mempengaruhi maju atau tidaknya ekstrakurikuler di suatu sekolah, contohnya di sekolahku. Sebelum bu Yetty memimpin, banyak ekstrakrikuler yang pontang-panting kebingungan karena sulitnya mendapatkan izin mengadakan suatu acara dan kesulitan mendapatkan dana bantuan untuk menyelenggarakan acara atau untuk mengikuti perlombaan. Tapi semua itu berubah setelah bu Yetty memimpin. Banyak acara-acara ekstrakrikuler yang lebih mudah mendapat izin untuk diselenggarakan, banyak peserta lomba perwakilan SMA yang mendapat bantuan dana untuk menunjang perlombaan, dan lain sebagainya. Semua itu diizinkan bu Yetty karena beliau yakin bahwa kegiatan ekstrakrikuler akan membantu pembelajaran siswa, baik dalam segi akademik maupun nonakademik.

       Begitulah bu Yetty Nugraha, orang ramah yang peduli terhadap kemajuan warganya. Beliau terbuka, siap menerima masukan dan curahan hati semua warganya dan akan berusaha merealisasikan apa yang diinginkan warganya jika itu memang baik dan bermanfaat.

Banyak sekali kebijakan-kebijakan bu Yetty yang mendapat respon baik dari warga sekolah karena kebijakan-kebijakan yang beliau buat memang sangat bermanfaat bagi warga sekolah. Selain itu bu Yetty juga orang yang selalu ingin bermusawarah, beliau tak ingin keputusan hanya ada di tangannya sendiri. Bukan hanya guru yang diajak bermusyawarah, tetapi juga murid. Aku tau dan aku pernah merasakannya karena dulu aku pernah menjadi ketua kelas. Bu Yetty selalu mengundang perwakilan setiap kelas (yang biasanya perwakilannya adalah ketua kelas) jika ada hal-hal penting yang harus dimusyawarahkan atau hanya sekedar diumumkan. Setiap bermusyawarah, bu Yetty bersikap serius namun tetap santai, beliau juga bersikap tegas dalam memberi keputusan namun juga lembut dalam menyampaikan pemikirannya.

       Hal yang paling diingat oleh semua orang yang pernah bermusyawarah dengannya atau mendengar pidatonya adalah kalimat penutup yang hampir selalu diucapkannya ketika akan mengakhiri musyawarah atau pembicaraan. Contohnya pada saat upacara bendera, saat beliau mennjadi pemberi amanah upacara. Setelah beliau menyampaikan segala permasalahan dan pengumuman, beliau berkata, “Biar cepet gonjreng ya nak ya, hihi”. Selalu begitu. Tawa kecil dan senyuman lebar selalu mengiringi perkataan yang dilontarkan dengan logat sundanya yang kental. Perkataan beliau “biar cepet gonjreng” maksudnya adalah “supaya cepat selesai”, agar tidak ada lagi permasalahan yang menumpuk dan belum terselesaikan. Bu Yetty adalah orang yang tidak ingin menunda pekerjaan. Jika bisa dikerjakan, maka akan dikerjakan saat itu juga. Bu Yetty juga tidak ingin ada aspirasi atau keluhan warga sekolahnya yang tidak terealisasikan jika itu memang baik. Beliau ingin cepat-cepat menyelesaikannya agar banyak orang senang dan keluhannya bisa teratasi. Prinsip bu Yetty adalah “biar cepet gonjreng”.

       Selain perkataan gonjreng, ada kalimat bijak yang keluar dari mulut bu Yetty yang mungkin akan selalu terngiang di telinga warga sekolah. Kalimat itu adalah “Memungut sampah tidak akan menurunkan derajat seseorang”. Jika orang harus membungkuk untuk memungut sampah, bukan berarti wibawa dan derajatnya juga ikut membungkuk, malah derajat dan wibawanya akan naik karena mencintai kebersihan.

Suatu perkataan tidak akan bernilai tanpa perbuatan. Dan nasihat yang terbaik adalah dengan mencontohkan. Itulah bu Yetty. Beliau tidak hanya sering menasihati warga sekolah untuk membuang sampah pada tempatnya, tapi juga melaksanakannya dan menjadi sosok teladan pahlawan kebersihan di sekolah. Tak peduli dia kepala sekolah atau rakyat biasa, bu Yetty tetap akan memungut sampah yang berserakan atau yang ada di lantai jika memang beliau melihatnya.

       Mungkin ada beberapa orang yang berbuat baik untuk menunjukkan kesan atau agar terlihat baik di mata orang lain, apalagi sebagai pemimpin baru. Tapi tidak dengan bu Yetty. Dari awal menjabat sebagai kepala sekolah sampai masa baktinya berakhir, beliau selalu menjaga kebersihan lingkungan sekolah. Sangat berbeda dengan beberapa temanku yang malas membuang sampah, biasanya mereka hanya menaruh sampah-sampah tersebut di kolong meja sehingga kolong meja menjadi bau dan menyengsarakan yang kebagian jatah piket. Selain ke kolong meja, banyak juga temanku yang langsung melemparnya ke luar jendela.

Sekali lagi aku katakan, sungguh berbeda! Temanku rajin membuang sampah sembarangan sedangkan bu Yetty rajin memungut sampah yang berserakan, tak peduli tangannya akan dipenuhi kotoran atau diselimuti bau yang tidak mengenakkan. Sungguh kewibawaan dalam kesederhanaan penampilan yang menakjubkan.

Ada satu hal yang membuat aku terdiam. Pernah suatu kali bu Yetty ke halaman lantai dua dengan memakai sandal, lalu beliau memunguti sampah-sampah yang ada disana. Aku bisa tahu karena halaman lantai dua terletak di samping kelasku pada saat itu. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Ironis, sungguh ironis sekali. Bu Yetty memunguti sampah berserakan yang dibuang oleh para murid-muridnya, yang dalam kasus ini murid-muridnya adalah beberapa teman kelasku yang malas membuang sampah pada tempatnya.

Pada saat itu sedang ada guru yang mengajar di kelasku, jadi kami tak bisa membantu bu Yetty untuk membersihkan sampah-sampah itu. Guru yang sedang mengajar kelas kami hanya berkata, “Tuh liat, kepala sekolah kalian aja mau mungutin sampah, masa kalian ngga mau? Buang sampah di tempat sampah aja susah, ngga malu sama bu Yetty?” setelah itu guruku berpesan kepada kami sekelas agar tidak membuang sampah di sembarang tempat lagi.

Hanya sekejap saja, bu Yetty menjadi pusat perhatian kami. Kulihat beliau tetap tersenyum dan tertawa-tawa kecil sambil mengobrol dengan panjaga sekolah yang juga sedang membantu bu Yetty membersihkan halaman lantai dua. Sungguh teladan yang baik. Beliau tak hanya menasihati, tapi juga memberi bukti. Beliau bekerja bukan untuk kesenangan pribadi, tapi untuk memenuhi panggilan hati. Beliau juga bekerja tanpa ada yang memaksa, tapi tetap dilakukannya dengan penuh semangat yang membara dalam jiwa dan raga.

       Pada satu waktu, aku bersama teman-temanku sedang mengobrol di depan laboratorium kimia bersama bapak asisten lab, Mang Iing panggilannya. Beliau bercerita kalau bu Yetty adalah orang yang peduli dengan semua kalangan, sifatnya keibuan, mengayomi para guru sampai petugas kebersihan, dan tidak pernah memandang jabatan. Mang Iing menambahkan, bu Yetty selalu mengajak makan penjaga sekolah bersama pegawai lainnya. Berbeda dengan kepala-kepala sekolah dahulu yang jarang mengajak penjaga sekolah makan bersama.

       Selain baik hati, ramah, dan berbudi pekerti, bu Yetty juga punya semangat yang tinggi. Hal ini terbukti ketika beliau terkena musibah. Pada suatu malam setelah pulang rapat di sekolah, beliau membuka pagar sekolah, dan mungkin ada penyangga pagar yang kendor sehingga pagar setinggi tiga meter dan lebarnya enam meter jatuh menimpa tubuh kepala sekolah yang mungil itu. Beruntung ada yang menolong beliau dan segera membawanya ke rumah sakit.

Setelah diperiksa, ternyata beberapa tulang di daerah punggungnya ada yang retak. Beliau harus dirawat agar tulangnya sembuh total. Tapi baru skitar tiga minggu dirawat, beliau sudah memaksa untuk berangkat ke sekolah kembali, padaal keadaannya belum sembuh total, untuk berdiri saja masih belum kuat. Tapi dengan semangatnya yang menggebu-gebu dalam dada, beliau tetap berangkat ke sekolah meski harus duduk diatas kursi roda. Tak hanya sampai situ saja, bahkan beliau memaksakan berdiri untuk memberi amanah upacara dengan gembira diiringi lenggak-lenggok tubuh kecilnya yang memimpin menyanyikan lagu! Sungguh seorang kepala sekolah super yang tidak bisa diduga.

Ada pertemuan, maka ada perpisahan. Ada awal, maka ada akhir. Akhir perjalanan kepemimpinan seorang yang tidak pernah menampakkan kesedihan. Sebuah perpisahan yang sangat mengharukan, ketika harus melepas kepergian sang kepala sekolah yang sering mengundang keceriaan. Semua yang hadir meneteskan air mata, banyak yang tak bisa menahan kesedihan yang tertahan dalam dada. Air mata yang mengalir di pipi menandakan berakhirnya masa reformasi sekolah kami. Meski masih bisa bertemu, tapi banyak yang terharu karena tak bisa lagi beratap satu dengan reformator yang periang itu. Posisi bu Yetty digantikan oleh kepala sekolah yang baru, yang kami harap bisa melanjutkan jejak-jejak perjuangan perubahan menuju kebaikan yang sudah dirilis oleh bu Yetty.

Bagi warga sekolah kami, bu Yetty adalah inspirator. Pembawa perubahan yang mengarah kepada kebaikan layaknya reformator. Pemimpin yang suka bermusyawarah dan memprioritaskan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, menjauhi sifat diktator. Jika bicara kata-katanya akan didengar banyak orang seperti orator. Sungguh beruntung kami memiliki kepala sekolah seperti beliau, yang berani mengajak kepada kebaikan bagai pelopor.

================================

Cerpen ini dibuat untuk ikut lomba , tolong do'ain semoga bermanfaat + bisa menang ya ! heheheh :D insya Allah pengumumannya tanggal 11 November , hari Ahad . Sebetulnya bikinnya udah lama , tapi baru diposting disini soalnya nunggu dikirim ke panitia dulu . Ohiya , tolong komentarnya juga ya , untuk perbaikan karya-karya berikutnya , makasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar