Seorang
Kepala Sekolah di sebuah SMA, baik budi pekertinya, santun tutur
katanya, ramah dan selalu berusaha terlihat gembira. Tak pernah
pernah pilih kasih untuk menebar senyuman meski sedang dilanda
kesdihan ataupun permasalahan. Selalu mencoba untuk menampilkan yang
terbaik di hadapan keluarga keduanya dan tetap berperangai ceria
walau sudah berkepala lima. Itulah Ibu Yetty Nugraha, kepala
sekolahku saat aku masih mengeyam pendidikan di bangku SMA.
Aku
pernah mendengar bahwa kesan pertama saat bertemu seseorang akan
selalu teringat dalam memori dan akan menampilkan gambaran umum
tentang karakter seseorang. Saat pertama kali Ibu Yetty berbicara di
depan ribuan siswa SMA Negeri 4 Kota Bekasi, beliau tampil dengan
begitu enerjik, nada bicaranya melambai dan santai, tidak terlalu
serius tapi semua siswa tetap fokus memperhatikan beliau yang sedang
memberikan pesan-pesan dalam upacara bendera. Saat melihat tingkah
beliau saat memberikan amanah upacara dengan gayanya yang begitu
ceria, banyak siswa-siswi yang tertawa melihatnya, tetapi beliau
tetap terseyum dan melanjutkan pembicaraannya dengan bahagia. Sekali
saja bu Yetty naik podium untuk memberi pesan-pesan pada saat upacara
atau hanya sekedar berbicara, pikiran semua siswa-siswi dan para
pegawai SMA seperti terhipnotis oleh pembawaan beliau yang sangat
berbeda dengan guru-guru dan kepala-kepala sekolah lainnya. Sehingga
kesan pertama yang terpatri dalam pikiran kami semua adalah bu Yetty
yang begitu ceria dan menyenangkan.
Setiap
selesai upacara atau setiap setelah bel tanda masuk berbunyi, beliau
selalu menyempatkan diri untuk berpatroli keliling sekolah, melihat
keadaan sekolah dan para warganya. Pernah suatu kali kelasku kosong,
guru yang seharusnya mengajar belum datang dan pada saat itu bu Yetty
sedang berkeliling sekolah. Melihat kelasku yang kosong, beliau
segera masuk untuk mengecek keadaan kelas, “Assalamualaikum”,
ucapnya dengan lembut. “Waalaikumussalam”, jawab kami serempak.
Kemudian beliau bertanya dengan suara yang begitu lembut, seperti
seorang ibu yang bertanya kepada anaknya, menanyakan siapa gru yang
seharusnya mengajar dan mengapa guru yang bersangkutan belum datang.
Kami juga tidak tahu. Akhirnya bu Yetty menyempatkan diri untuk
mendengar curahan hati kelas kami sebelum guru yang mengajar datang.
Beliau menanyakan apa-apa saja yang perlu dibenahi di kelas kami dan
kami pun serentak menjawab, “Pintunya buuuuuuuuu. . .”, karena
memang pada saat itu pintu kelas kami dan kelas sebelah kondisinya
kurang baik. Pintu kelas kami selalu menganga lebar, tak bisa
tertutup rapat apabila tak ada yang mengganjal pintunya.
Masih banyak lagi
curahan-curahan hati siswa yang disampaikan kepada Kepala Sekolahku
itu. Beliau mendengarkan dengan baik, mencerna segala masukan yang
kami utarakan. Bu Yetty memang terkenal sebagai orang terbuka yang
siap menerima aspirasi orang banyak. Setelah bertanya keluhan kelas
kami, beliau mengucapkan terima kasih, mengucapkan salam, dan pergi
dari kelas kami sambil melambai-lambaikan tangan. Entah tiga bulan
atau empat bulan sesudah itu, semua pintu kelas diganti dengan yang
baru, lebih bagus dan bisa ditutup rapat! Kami senang, bu Yetty pun
riang.
Selain sarana dan
prasarana, pihak sekolah juga berusaha membangun iman dan takwa
karena dua hal tersebut adalah modal utama pelajar selain dari
kepintaran agar bisa bersaing di kehidupan sebenarnya. Kepintaran
yang tidak disertai dengan iman dan takwa bagaikan rumah tanpa
pondasi. Mungkin saja terlihat mewah, tapi karena tak ada pondasi,
rumah itu bisa rubuh kapan saja. Begitulah orang pintar tanpa iman
dan takwa, dia bisa hidup dan terlihat hebat, tapi tak bisa berdiri
kokoh karena hidupnya tak berdasarkan landasan-landasan agama.
Oleh
karena itu, setiap sekolah harus mempunyai program untuk membina
keimanan dan ketakwaan seluruh warga sekolahnya. Sekolahku sudah
mencoba mengaplikasikan hal tersebut dengan cara menyediakan waktu 15
menit sebelum bel masuk sebagai waktu “Imtak” (Iman dan Takwa).
Pada waktu tersebut, yang muslim dipersilahkan untuk membaca quran
atau mendengar tausyiah dari salah seorang siswa dan yang nonmuslim
dipersilahkan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya
masing-masing. Yang paling aku ingat dari waktu imtak adalah bu Yetty
yang selalu menyempatkan diri berkeliling sekolah untuk mengecek
apakah para warga sekolahnya sudah memaksimalkan waktu imtak yang
sudah disediakan atau belum. Jika belum, maka beliau menunggui suatu
kelas sampai benar-benar mengoptimalkan waktu imtak. Tak hanya itu,
terkadang juga beliau menambahkan dengan sedikit nasihat yang
pastinya bermanfaat.Benar-benar kepala sekolah yang peduli akan
murid-muridnya.
Selain
kegiatan akademik, sekolah juga mendukung kegiatan yang menunjang
prestasi nonakademik, yang biasanya diraih oleh siswa-siswi yang
aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler yang ada. Bantuan, binaan, dan
perhatian sekolah sangat mempengaruhi maju atau tidaknya
ekstrakurikuler di suatu sekolah, contohnya di sekolahku. Sebelum bu
Yetty memimpin, banyak ekstrakrikuler yang pontang-panting
kebingungan karena sulitnya mendapatkan izin mengadakan suatu acara
dan kesulitan mendapatkan dana bantuan untuk menyelenggarakan acara
atau untuk mengikuti perlombaan. Tapi semua itu berubah setelah bu
Yetty memimpin. Banyak acara-acara ekstrakrikuler yang lebih mudah
mendapat izin untuk diselenggarakan, banyak peserta lomba perwakilan
SMA yang mendapat bantuan dana untuk menunjang perlombaan, dan lain
sebagainya. Semua itu diizinkan bu Yetty karena beliau yakin bahwa
kegiatan ekstrakrikuler akan membantu pembelajaran siswa, baik dalam
segi akademik maupun nonakademik.
Begitulah
bu Yetty Nugraha, orang ramah yang peduli terhadap kemajuan warganya.
Beliau terbuka, siap menerima masukan dan curahan hati semua warganya
dan akan berusaha merealisasikan apa yang diinginkan warganya jika
itu memang baik dan bermanfaat.
Banyak sekali
kebijakan-kebijakan bu Yetty yang mendapat respon baik dari warga
sekolah karena kebijakan-kebijakan yang beliau buat memang sangat
bermanfaat bagi warga sekolah. Selain itu bu Yetty juga orang yang
selalu ingin bermusawarah, beliau tak ingin keputusan hanya ada di
tangannya sendiri. Bukan hanya guru yang diajak bermusyawarah, tetapi
juga murid. Aku tau dan aku pernah merasakannya karena dulu aku
pernah menjadi ketua kelas. Bu Yetty selalu mengundang perwakilan
setiap kelas (yang biasanya perwakilannya adalah ketua kelas) jika
ada hal-hal penting yang harus dimusyawarahkan atau hanya sekedar
diumumkan. Setiap bermusyawarah, bu Yetty bersikap serius namun tetap
santai, beliau juga bersikap tegas dalam memberi keputusan namun juga
lembut dalam menyampaikan pemikirannya.
Hal
yang paling diingat oleh semua orang yang pernah bermusyawarah
dengannya atau mendengar pidatonya adalah kalimat penutup yang hampir
selalu diucapkannya ketika akan mengakhiri musyawarah atau
pembicaraan. Contohnya pada saat upacara bendera, saat beliau
mennjadi pemberi amanah upacara. Setelah beliau menyampaikan segala
permasalahan dan pengumuman, beliau berkata, “Biar
cepet gonjreng ya nak
ya, hihi”. Selalu begitu. Tawa kecil dan senyuman lebar selalu
mengiringi perkataan yang dilontarkan dengan logat sundanya yang
kental. Perkataan beliau “biar
cepet gonjreng”
maksudnya adalah “supaya cepat selesai”, agar tidak ada lagi
permasalahan yang menumpuk dan belum terselesaikan. Bu Yetty adalah
orang yang tidak ingin menunda pekerjaan. Jika bisa dikerjakan, maka
akan dikerjakan saat itu juga. Bu Yetty juga tidak ingin ada aspirasi
atau keluhan warga sekolahnya yang tidak terealisasikan jika itu
memang baik. Beliau ingin cepat-cepat menyelesaikannya agar banyak
orang senang dan keluhannya bisa teratasi. Prinsip bu Yetty adalah
“biar cepet
gonjreng”.
Selain
perkataan gonjreng,
ada kalimat bijak yang keluar dari mulut bu Yetty yang mungkin akan
selalu terngiang di telinga warga sekolah. Kalimat itu adalah
“Memungut sampah tidak akan menurunkan derajat seseorang”. Jika
orang harus membungkuk untuk memungut sampah, bukan berarti wibawa
dan derajatnya juga ikut membungkuk, malah derajat dan wibawanya akan
naik karena mencintai kebersihan.
Suatu perkataan
tidak akan bernilai tanpa perbuatan. Dan nasihat yang terbaik adalah
dengan mencontohkan. Itulah bu Yetty. Beliau tidak hanya sering
menasihati warga sekolah untuk membuang sampah pada tempatnya, tapi
juga melaksanakannya dan menjadi sosok teladan pahlawan kebersihan di
sekolah. Tak peduli dia kepala sekolah atau rakyat biasa, bu Yetty
tetap akan memungut sampah yang berserakan atau yang ada di lantai
jika memang beliau melihatnya.
Mungkin
ada beberapa orang yang berbuat baik untuk menunjukkan kesan atau
agar terlihat baik di mata orang lain, apalagi sebagai pemimpin baru.
Tapi tidak dengan bu Yetty. Dari awal menjabat sebagai kepala sekolah
sampai masa baktinya berakhir, beliau selalu menjaga kebersihan
lingkungan sekolah. Sangat berbeda dengan beberapa temanku yang malas
membuang sampah, biasanya mereka hanya menaruh sampah-sampah tersebut
di kolong meja sehingga kolong meja menjadi bau dan menyengsarakan
yang kebagian jatah piket. Selain ke kolong meja, banyak juga temanku
yang langsung melemparnya ke luar jendela.
Sekali lagi aku
katakan, sungguh berbeda! Temanku rajin membuang sampah sembarangan
sedangkan bu Yetty rajin memungut sampah yang berserakan, tak peduli
tangannya akan dipenuhi kotoran atau diselimuti bau yang tidak
mengenakkan. Sungguh kewibawaan dalam kesederhanaan penampilan yang
menakjubkan.
Ada satu hal yang
membuat aku terdiam. Pernah suatu kali bu Yetty ke halaman lantai dua
dengan memakai sandal, lalu beliau memunguti sampah-sampah yang ada
disana. Aku bisa tahu karena halaman lantai dua terletak di samping
kelasku pada saat itu. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.
Ironis, sungguh ironis sekali. Bu Yetty memunguti sampah berserakan
yang dibuang oleh para murid-muridnya, yang dalam kasus ini
murid-muridnya adalah beberapa teman kelasku yang malas membuang
sampah pada tempatnya.
Pada saat itu sedang
ada guru yang mengajar di kelasku, jadi kami tak bisa membantu bu
Yetty untuk membersihkan sampah-sampah itu. Guru yang sedang mengajar
kelas kami hanya berkata, “Tuh
liat, kepala sekolah
kalian aja mau mungutin
sampah, masa kalian ngga
mau? Buang sampah di tempat sampah aja
susah, ngga
malu sama bu Yetty?” setelah itu guruku berpesan kepada kami
sekelas agar tidak membuang sampah di sembarang tempat lagi.
Hanya sekejap saja,
bu Yetty menjadi pusat perhatian kami. Kulihat beliau tetap tersenyum
dan tertawa-tawa kecil sambil mengobrol dengan panjaga sekolah yang
juga sedang membantu bu Yetty membersihkan halaman lantai dua.
Sungguh teladan yang baik. Beliau tak hanya menasihati, tapi juga
memberi bukti. Beliau bekerja bukan untuk kesenangan pribadi, tapi
untuk memenuhi panggilan hati. Beliau juga bekerja tanpa ada yang
memaksa, tapi tetap dilakukannya dengan penuh semangat yang membara
dalam jiwa dan raga.
Pada
satu waktu, aku bersama teman-temanku sedang mengobrol di depan
laboratorium kimia bersama bapak asisten lab, Mang Iing panggilannya.
Beliau bercerita kalau bu Yetty adalah orang yang peduli dengan semua
kalangan, sifatnya keibuan, mengayomi para guru sampai petugas
kebersihan, dan tidak pernah memandang jabatan. Mang Iing
menambahkan, bu Yetty selalu mengajak makan penjaga sekolah bersama
pegawai lainnya. Berbeda dengan kepala-kepala sekolah dahulu yang
jarang mengajak penjaga sekolah makan bersama.
Selain
baik hati, ramah, dan berbudi pekerti, bu Yetty juga punya semangat
yang tinggi. Hal ini terbukti ketika beliau terkena musibah. Pada
suatu malam setelah pulang rapat di sekolah, beliau membuka pagar
sekolah, dan mungkin ada penyangga pagar yang kendor sehingga pagar
setinggi tiga meter dan lebarnya enam meter jatuh menimpa tubuh
kepala sekolah yang mungil itu. Beruntung ada yang menolong beliau
dan segera membawanya ke rumah sakit.
Setelah diperiksa,
ternyata beberapa tulang di daerah punggungnya ada yang retak. Beliau
harus dirawat agar tulangnya sembuh total. Tapi baru skitar tiga
minggu dirawat, beliau sudah memaksa untuk berangkat ke sekolah
kembali, padaal keadaannya belum sembuh total, untuk berdiri saja
masih belum kuat. Tapi dengan semangatnya yang menggebu-gebu dalam
dada, beliau tetap berangkat ke sekolah meski harus duduk diatas
kursi roda. Tak hanya sampai situ saja, bahkan beliau memaksakan
berdiri untuk memberi amanah upacara dengan gembira diiringi
lenggak-lenggok tubuh kecilnya yang memimpin menyanyikan lagu!
Sungguh seorang kepala sekolah super yang tidak bisa diduga.
Ada pertemuan, maka
ada perpisahan. Ada awal, maka ada akhir. Akhir perjalanan
kepemimpinan seorang yang tidak pernah menampakkan kesedihan. Sebuah
perpisahan yang sangat mengharukan, ketika harus melepas kepergian
sang kepala sekolah yang sering mengundang keceriaan. Semua yang
hadir meneteskan air mata, banyak yang tak bisa menahan kesedihan
yang tertahan dalam dada. Air mata yang mengalir di pipi menandakan
berakhirnya masa reformasi sekolah kami. Meski masih bisa bertemu,
tapi banyak yang terharu karena tak bisa lagi beratap satu dengan
reformator yang periang itu. Posisi bu Yetty digantikan oleh kepala
sekolah yang baru, yang kami harap bisa melanjutkan jejak-jejak
perjuangan perubahan menuju kebaikan yang sudah dirilis oleh bu
Yetty.
Bagi warga sekolah
kami, bu Yetty adalah inspirator. Pembawa perubahan yang mengarah
kepada kebaikan layaknya reformator. Pemimpin yang suka bermusyawarah
dan memprioritaskan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi,
menjauhi sifat diktator. Jika bicara kata-katanya akan didengar
banyak orang seperti orator. Sungguh beruntung kami memiliki kepala
sekolah seperti beliau, yang berani mengajak kepada kebaikan bagai
pelopor.
================================
Cerpen ini dibuat untuk ikut lomba , tolong do'ain semoga bermanfaat + bisa menang ya ! heheheh :D insya Allah pengumumannya tanggal 11 November , hari Ahad . Sebetulnya bikinnya udah lama , tapi baru diposting disini soalnya nunggu dikirim ke panitia dulu . Ohiya , tolong komentarnya juga ya , untuk perbaikan karya-karya berikutnya , makasih :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar